Jumat, 11 Desember 2015

MAKALAH ILMU PENDIDIKAN ISLAM



BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang Masalah

Peranan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas sangat penting artinya bagi pembangunan suatu bangsa.Bahkan ketersediaan SDM berkualitas diyakini banyak orang sebagai kunci utama keberhasilan pembangunan. Untuk mewujudkan manusia dan masyarakat yang berkualitas, dunia pendidikan khususnya sekolah, dituntut untuk berperan aktif dalam meningkatkan kualitas SDM. Banyak faktor yang menentukan suatu sekolah menjadi berkualitas tinggi, tetapi berbagai penelitian tentang keefektifan mengajar guru, dapat disimpulkan bahwa guru mempunyai pengaruh yang sangat dominan terhadap pencapaian belajar siswa. Hal ini dapat dipahami karena guru merupakan sumber daya yang aktif, sedang sumber daya yang lain bersifat pasif. Sebaik-baik kurikulum, fasilitas, sarana prasarana pembelajaran, tetapi tingkat kualitas gurunya rendah, akan sulit mendapatkan hasil pendidikan yang berkualitas tinggi. Pendeknya guru merupakan “proxy utama” terhadap keberhasilan pendidikan, menurut penelitian Sudarmaji (2002 : 60). Berdasarkan catatan Human Development Index (HDI), menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk melakukan perubahan yang sifatnya mendasar seperti kurikulum berbasis kompetensi (KBK).
Para guru bahkan belum mengenal pengajaran dengan menggunakan projek-projek yang menggabungkan beberapa mata pelajaran sekaligus. Pengajaran tematik bahkan masih asing terdengar oleh para guru. Selain itu, guru belum memahami konstelasi bidang studi yang diajarkannya dalam kaitan dan hubungannya dengan bidang studi lain dan masih melihat berbagai bidang studi secara terpisah dan tersendiri tanpa ada hubungan dengan bidang studi lain.
Guru masih melihat bidang studinya berupa “teks” dan belum “konteks” karena metode Contekstual Teaching and Learning (CTL) masih berupa wacana dan belum menjadi pengetahuan, apalagi keterampilan bagi para guru.
Pada umumnya guru masih berceramah, walaupun ditambah sedikit dengan kegiatan tanya jawab. Guru-guru dalam mengajar, masih banyak yang menerapkan sistem CBSA, tapi dengan singkatan “Catat Buku Sampai Abis”. Banyak siswa sering menjumpai gurunya sedang melakukan pekerjaan lain pada jam mengajar, atau guru-guru yangsulit dihubungi pada hari-hari tertentu, terutama pada jadwal MGMP. Siswa juga sering menjumpai guru yang selalu marah setiap masuk kelas karena kelelahan, atau guru muda yang setiap kali mengajar, kelas menjadi ramai, ada guru yang disegani karena berwibawa, tapi ada juga guru yang dilecehkan karena tidak menyenangkan “performance” nya, dan juga keluhan siswa dengan kondisi sekolah yang kurang
mendukung proses belajar mengajar.
Dari uraian di atas, faktor kesiapan guru perlu dikaji secara detail dan transparan, walaupun kurikulum pendidikan sangat bagus, tetapi gurunya tidak punya kompetensi atau tidak mau menunjukkan kompetensinya, maka jangan harap mutu pendidikan akan berubah pada setiap periodenya. Jika buku pelajarannya bermutu tinggi, tetapi guru yang mengajarnya tidak dibekali dan diberdayakan untuk memiliki ketrampilan mengajar yang baik, maka pendidikan itu hanya sandiwara antara guru dan siswa didik semata. Jika sarana dan prasarana pendidikan sangat lengkap, tetapi gurunya tidak mempunyai kemampuan untuk mengoperasikan semua sarana yang ada, lantaran “gagap” teknologi karena tak berdaya oleh keadaannya sekaligus tidak diberdayakan, maka mutu pendidikan yang diharapkan hanya pembicaraan “liar” dari waktu ke waktu yang tidak akan berujung pada perbaikan mutu. Selanjutnya, apa jadinya proses pendidikan jika guru yang mengajar selalu “dihantui” dan “dililit” problem ekonomis, sosial dan psikologis?
Sebenarnya ada tiga hal yang masih luput dari analisis banyak kalangan dalam membicarakan mutu pendidikan di negeri ini. Makalah Tanje (2003 : 62-63) disampaikan,
Ø  Pertama, tentang pemberdayaan guru. Pemberdayaan guru untuk memiliki ketrampilan agar mampu mengubah paradigma pola mengajar sangatsignifikan dengan mutu pendidikan yang diharapkan.
Ø  Kedua, kesejahteraan guru yang jauh dari sejahtera akan sangat berpengaruh pada keseriusan kerjanya.
Ø  Ketiga, akibat kurikulum yang tidak marketable, yang selalu mengalami pembenahan.

Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun swasta demi meningkatkan kualitas guru. Misalnya melalui penataran, seminar, lokakarya, workshop, uji kompetensi maupun melalui pendidikan di perguruan tinggi. Namun hal itu dirasa tetap kurang efektif, menurut penelitian Sudarmaji (2002 : 66) disebabkan karena :
1.      Program penataran kurang mendasarkan pada kebutuhan nyata guru, kebutuhan sekolah dan kebutuhan masyarakat, sehingga program-program tersebut banyak yang tidak relevan.
2.      Lemahnya dasar konseptual dalam perencanaan danpenataran.
3.      Tindak lanjut program penataran jarang dilakukan, sehingga sulit untuk mengetahui keberhasilannya.
4.      Guru tidak dapat mempraktekkan hasil penataran karena kondisi sekolah yangkurang memberi kesempatan.
5.       Nurturant Effect kurang tertanam pada para pelajar.

Hal ini disebabkan karena program penataran itu sendiri kurang memperhatikan penanaman sikap. Sedangkan kurikulum yang berkembang saat ini adalah kurikulum berbasis
kompetensi (KBK) yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu kompetensi dasar, materi pokok dan indikator pencapaian hasil belajar. Guru memiliki peran penting dalam implementasi kurikulum. Guru sebagai pihak pengembang dan pelaksana kurikulum pada kelasnya masing-masing. Dari penelitian Ghufron (2005 : 88) mengatakan bahwa implementasi kurikulum hampir seluruhnya tergantung pada kreativitas, kecakapan, kesungguhan dan ketekunan guru. Salah satu kemampuan yang perlu disiapkan adalah pengetahuan guru tentang kurikulum itu sendiri.
Pengetahuan guru secara komprehensif terhadap kurikulum ini sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakannya dalam menerapkan KBK di kelasnya masing-masing, menurut Ghufron (2005 : 88). Miller dan Seller (1985 : 238) menyatakan “there are three basic dimensions to any significant educational change; teaching resources, methodologies, and beliefs. For a teacher to introduce a new program, adjustments are often necessary in all three dimensions”. Pada bagian lain, Miller dan Seller (1985 : 240) mengatakan “…there are many personal factors that affect implementation of change. Because the teacher is the ultimate implementor of a new program, the personal world of theteacher must be considered”. Ada beberapa pedoman implementasi kurikulum yang perlu disiapkan dan diperlukan guru, menurut Ghufron (2005 : 89) antara lain : pedoman penyusunan silabus, pembelajaran, sistem penilaian, dan lain-lain. Setiap pedoman memuat tata cara perancangan, implementasi dan evaluasi kegiatan. Dalam jurnal penelitian Sugiarto (2003 : 117) menyatakan kualitas hasil belajar berkualitas menuntut pengelolaan pembelajaran yang juga berkualitas. Guru dituntut untuk memiliki sekurang-kurangnya tiga kompetensi pokok yaitu kemampuan merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran. Dari penelitian Sutama (2005 : 153 -154) menuturkan di dalam kompetensi guru dalam pembelajaran tersebut terdapat aspek-aspek;
1)      Terampil menyusun rencana pengajaran,
2)      Menyusun program pembelajaran,
3)      Terampil melaksanakan prosedur mengajar,
4)      Terampil mengelola pembelajaran,
5)      Mengembangkan teknik dan media pembelajaran,
6)      Terampil melakukan evaluasi pembelajaran,
7)      Mampu menganalisis penilaian hasil belajar,
8)      Mampu memecahkan kesulitan pembelajaran, dan
9)      Mampu menganalisis kebijakan Diknas.

Kompetensi (competency) didefinisikan dengan berbagai cara, namun pada dasarnya kompetensi merupakan kebulatan penguasaan pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja, yang diharapkan bisa dicapai seseorang setelah menyelesaikan suatu program pendidikan. Sementara itu, menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 045/U/2002, kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. Menurut PP RI No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, pendidik adalah agen pembelajatan yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
1.      Kompetensi Pedagogik : Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman peserta didik dan pengelola pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Secara subtantif kompetensi ini mencakup kemampuan pemahamanterhadap peserta didik, perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasihasil belajar, dan pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya.
2.      Kompetensi Kepribadian : Kompetensi kepribadian merupakan kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa, arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
3.      Kompetensi Profesional : Kompetensi profesional merupakan kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai guru.
4.      Kompetensi Sosial : Kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan pendidik sebagai bagian dari  masyarakat untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama pendidik, tenaga kependidikan, orang tua / wali peserta didik, dan masyarakat sekitar.

Keempat rumpun kompetensi tersebut mencerminkan standar kompetensi pendidik / guru yang masih bersifat umum dan perlu dikemas dengan menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang beriman dan bertaqwa, dan sebagai warga negara Indonesia yang memiliki kesadaran akan pentingnya memperkuat identitas dan semangat kebangsaan, sikap demokratis dan tanggung jawab. Secara garis besar terdapat dua elemen kompetensi guru yaitu dari kondisi internal dan kondisi eksternal. Dari laporan penelitian Sutama (2005 : 160) menyatakan, kondisi internal guru dapat berupa kemampuan, kecakapan interpersonal, serta kecakapan teknis. Sedangkan kondisi eksternal berupa kondisikondisi yang berada di luar kendali guru. Menurut Slamet (1991) disebutkan bahwa salah satu elemen yang memberi sumbangan besar terhadap sekolah yang efektif adalah guru yang berkualitas yaitu guru yang bermutu dan beretos kerja andal. Dalam makalahnya Wijoyo (2002 : 9) menuturkan penentu kompetensi guru yang jarang dipermasalahkan adalah “pengalaman”, padahal ini soal yang sangat menentukan dalam perjalanan hidup apalagi karir seseorang., sekaligus menentukan tinggi rendahnya derajat mutu dan relevansi pendidikan. Istilah kerennya “jam terbang” dan sering dikaitkan dengan “track record”. Celakanya pengalaman sering disalah artikan sebagai “masa kerja”. Orang yang lama masa kerjanya otomatis dianggap banyak pengalamannya, dan lebih gawat lagi salah arti ini dilembagakan dalam peraturan
kepegawaian negeri sipil. Setiap 4 tahun PNS berhak naik pangkat meskipun belum tentu dia menunjukkan pengalaman prestasi yang memadai. Padahal, pengalaman sama sekali bukan masa kerja, melainkan nilai-nilai hasil observasi kritis seseorang terhadap peristiwa sekililingnya yang direkonstruksi dan dikonsolidasikannya. Pengalaman tidak selalu tergantung pada masa kerja atau usia seseorang. Dari jurnal penelitian Sugiarto (2003 : 122) dinyatakan bahwa untuk memperoleh kemampuan guru mengelola pembelajaran yang tinggi, harus didukung oleh motivasi kerja, etos
kerja, pengalaman mengajar yang banyak, jenis dan lama penataran yang banyak dan tingkat pendidikan yang tinggi. Dari penelitian Sutama (2005 : 157 – 158) ditemukan bahwa partisipasi aktif dalam MGMP dapat meningkatkan kinerja atau kompetensi guru. Sedangkan dari penelitian Djumali (2005 : 42) dinyatakan bahwa faktor penghasilan merupakan faktor utama bagi peningkatan kinerja atau kompetensi guru. Banyak faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi guru dalam pembelajaran.
Menurut peneliti, ada beberapa faktor yang strategis dalam arti sangat dominan mempengaruhi kompetensi guru yang dapat diamati dan diukur, serta secara umum dimiliki dan dilakukan guru, antara lain : etos kerja, pengalaman mengajar, pendidikan, kesejahteraan, status kepegawaian, beban mengajar, keterlibatan dalam MGMP, dan sarana prasarana sekolah.

BAB II
PEMBAHASAN MASALAH
A.    Guru Kurang Memiliki Kompetensi
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas, dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan sebagai berikut :
1.      Dalam berbagai kasus, kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru. Dewasa ini kualitas atau kompetensi guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah, untuk itu peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan melalui upaya peningkatan kompetensi guru. Sebagai agen pembelajaran, seorang guru atau pendidik dipersyaratkan memiliki kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi profesional,kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.
2.      Kompetensi guru dalam pembelajaran yang rendah ditunjukkan dengan etos kerja guruyang rendah, kurang disiplin, tidak tepat waktu, korupsi waktu, kurang memiliki rasa bangga pada pekerjaannya dan kurang memiliki komitmen dan kesetiaan pada profesi dan tempat bekerja.
3.      Terdapat 45,96% tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah belum memenuhi kualifikasi pendidikan minimal. Persentase ini semakin besar bila dilihat dari persyaratan kualifikasi pendidikan minimal guru yang ditetapkan dalam PP RI No 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
4.      Kompetensi minimal guru pemula tidak sama dengan guru pratama, guru madya, guru pembina dan guru utama. Guru senior yang sudah meniti kariernya mempunyai lebih banyak wawasan kepribadian dan keprofesionalan serta wawasan teoritik pembelajaran dan penampilan.
5.      Pembagian tugas guru mengajar biasanya berdasarkan asas manfaat, dimana untuk guru tetap (PNS) mendapatkan beban mengajar yang lebih besar dari kewajiban yang sudah ditetapkan. Ini dilakukan untuk menghindari pengeluaran rutin sekolah yang bisa membengkak, jika beban mengajar guru PNS, sesuai dengan ketentuan atau bahkan berkurang. Sebaliknya bagi guru non PNS diberikan beban mengajar yang lebih sedikit, hal ini mengakibatkan menurunnya daya kemampuan atau minat untuk mengajar dengan penuh tanggung jawab.\
6.      Baik guru PNS maupun non PNS yang mendapat beban mengajar tidak sesuai dengan keinginan atau bahkan diharuskan mengampu mata pelajaran yang bukan bidangnya dengan tanpa mendapatkan sumbangan insentif yang memadai, apalagi gaji tetap yang diterima tidak menunjang lajunya krisis ekonomi, serta tidak terpenuhinya kebutuhan lahir maupun batin akan menurunkan kepedulian dan tanggung jawab terhadap hasil belajar siswa.
7.      Untuk menambah wawasan dan berkumpul menyamakan persepsi materi-materi esensial, guru mata pelajaran tertentu mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang dijadwalkan satu minggu satu kali pertemuan. Ada kalanya jadwal ini benar-benar dimanfaatkan oleh guru untuk hadir, tapi kadang disalahgunakan guru untuk melakukan kegiatan lain di luar kegiatan MGMP.
8.      Guru yang sudah meniti karier sampai jenjang guru pratama sampai utama mempunyai “prestice” yang lebih besar daripada guru pemula atau non PNS, sehingga akan menunjukkan kompetensi pembelajaran yang lebih baik daripada guru pemula atau GTT tersebut.
9.      Bagi sekolah yang berkualitas atau berprestasi, soal sarana prasarana bukan masalah lagi, hanya saja kesiapan guru dalam memanfaatkan semua sarana prasarana perlu dikaji. Bagi sekolah yang belum atau tidak mempunyai sarana prasarana memadai, hal ini menjadikan kendala dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, apalagi guru-guru tidak mempunyai keahlian atau kompetensi untuk memanfaatkan sarana prasarana tersebut, maka mutu kegiatan belajar mengajar tidak dapat diharapkan peningkatannya.

B.     Pembatasan Masalah
Ada banyak kompetensi yang harus dimiliki oleh guru yang profesional, dalam
penelitian ini difokuskan pada kompetensi pedagogik atau kompetensi guru dalamproses pembelajaran yang memiliki sub kompetensi dan indikator esensial sebagai
berikut :
1.      Memahami peserta didik. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial ;
Memahami peserta didik dengan memanfaatkan prisip-prinsip perkembangan kognitif; memahami peserta didik dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan mengidentifikasi bekal ajar awal pesrta didik.
2.      Merancang pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan pembelajaran. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial ;
Menerapkan teori belajar dan pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai dan materi ajar; serta menyusun rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
3.      Melaksanakan pembelajaran. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial ;
Menata latar (setting) pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
4.      Merancang dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial;
Melaksanakan evaluasi (assessment) proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode; menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat ketuntasan belajar (mastery level); dan memanfaatkan hasil penilaian pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.
5.      Mengembangkan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial;
Memfasilitasipeserta didik untuk pengembangan berbagai potensi akademik; dan
memfasilitasi peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi non akademik.

Faktor yang diduga strategis terhadap kompetensi guru dalam pembelajaran adalah
1)      Etos kerja,
2)      Kualifikasi pendidikan,
3)      Pengalaman mengajar,
4)      Beban mengajar,
5)      Kesejahteraan,
6)      Kegiatan MGMP,
7)      Status kepegawaian, dan
8)      Sarana prasarana sekolah.

C.    Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan penelitian dapat dirumuskan sebagai
berikut :
1.      Bagaimana keadaan etos kerja, kualifikasi pendidikan, pengalaman mengajar, beban mengajar, kesejahteraan, kegiatan MGMP (musyawarah guru mata pelajaran), status kepegawaian, dan sarana prasarana secara parsial dan simultan terhadap kompetensi guru dalam pembelajaran ?
2.      Bagaimana kontribusi etos kerja, kualifikasi pendidikan, pengalaman mengajar, beban mengajar, kesejahteraan, kegiatan MGMP, status kepegawaian, dan sarana prasarana terhadap kompetensi guru dalam pembelajaran, baik secara parsial maupun simultan ?
D.   Meningkatkan Kualitas Kompetensi Guru
Guru sebagai seorang agen pembelajaran wajib merancang dan mengembangkan proses pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Ini akan membantu peserta didik mencapai standar isi dan standar kompetensi lulusan yang diharapkan.
Merencanakan dan mengembangkan suatu proses pembelajaran tidak akan optimal apabila dikerjakan secara individu karena perencanaan membutuhkan banyak komponen dan harus disusun secara sistematis. Bagaimana sebuah standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) harus dianalisis dan dikembangkan menjadi beberapa indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaraan, dan bahan ajar. Pendekatan, model, dan strategi pembelajaran apa yang sesuai dengan karakteristik peserta didik maupun mata pelajaran. Hal tersebut akan efektif apabila dilakukan secara berkelompok di dalam sebuah wadah pengembangan profesi. Dengan demikian akan tercipta mekanisme saling belajar di antara guru sebagai pendidik. Melalui wadah pengembangan profesi seperti MGMP (musyawarah guru mata pelajaran), perencanaan dan pengembangan proses pembelajaran akan lebih mudah dilaksanakan, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik, sekolah, mata pelajaran, dll. Ditunjang dengan berbagai panduan pengembangan yang disusun oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), guru akan lebih mudah dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai proses pembelajaran.
Peserta didik pun akan lebih terbantu dan mudah dalam belajar, Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa yang dimaksud 'guru' adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Hal ini sekaligus merupakan pengakuan terhadap profesi guru sebagaimana diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Ada sembilan tujuan dikeluarkannya UU No. 14 tahun 2005 ini yang dijelaskan dalam bagian penjelasannya, di antaranya: meningkatkan martabat guru, meningkatkan kompetensi guru, dan meningkatkan mutu pembelajaran.  Berdasarkan UU tersebut dan kenyataan di lapangan tampak bahwa guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakan sehingga pada akhirnya berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru berperan sebagai pengelola proses belajar mengajar, bertindak selaku fasilitator yang berusaha menciptakan proses belajar mengajar yang efektif, mengembangkan bahan pelajaran dengan baik dan meningkatkan kemampuan peserta didik untuk menyimak pelajaran dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai. Hal ini menuntut perubahan-perubahan dalam pengorganisasian kelas, pengelolaan kelas, penggunaan metoda mengajar, strategi belajar mengajar, maupun sikap dan karakteristik guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Untuk memenuhi hal tersebut di atas, guru harus mampu mengelola proses belajar mengajar yang memberikan rangsangan kepada peserta didik sehingga ia mau belajar karena memang peserta didiklah subjek utama dalam belajar.
Guru yang mampu melaksanakan perannya sesuai dengan tuntutan seperti yang disebutkan di atas disebut sebagai seorang guru yang memiliki kompetensi.  Sebagai standar kompetensi yang perlu dimiliki oleh guru dalam melaksanakan profesinya, pemerintah mengeluarkan Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru. Standar kompetensi guru ini dikembangkan secara utuh dari empat kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan profesional.Menilik pada Standar Kompetensi Guru yang dikeluarkan tersebut, pertanyaan-pertanyaan berikut ini cukup menggoda untuk sama-sama direnungkan. Apakah "kita" para guru sudah memiliki kompetensi tersebut? Bagaimana menyikapinya?
Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu:
a.       Kompetensi pedagogis,
b.      Kognitif,
c.       Personaliti, dan
d.      Sosial.
Oleh karena itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik,mereka harus:
1)      Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme,
2)      Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya,
3)      Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus
4)      Mematuhi kode etik profesi,
5)      Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas,
6)      Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerjanya,
7)      Memiliki kesempatanuntuk mengembangkan profesinya secara berkelanjutan,
8)      Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas profesionalnya, dan
9)      Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber UU tentang Guru dan Dosen)
Di lapangan banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Tidak memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif, personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan adanya tunjangan buku referensi,pelatihan berkala,dsb. Profesionalisme dalam pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang memiliki insting  pendidik, paling tidak mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional. Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model.Menyadari banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab pendidikan harus mengambil langkah. Salah satu tujuan pendidikan klasik (Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur terhormat", dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal). Peningkatan kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun" manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang cukup.
Meningkatkan kompetensi guru sepertinya merupakan hal yang tidak bisa di tawar lagi. Tuntutan untuk meningkatkan kompetensi bahkan sekarang datang dari dalam diri guru sendiri. Lewat seminar atau workshop yang sekarang menjamur. Berapa anggaran sekolah anda dalam setahun? Sudahkan membuat survey mengenai, jenis peningkatan serta subyek apa saja yang ingin di tingkatkan dari diri setiap guru. Sudahkan ada catatan mengenai ’siapa pergi ke seminar atau workshop apa?’ Melakukan pemetaan mengenai kepandaian baru apa yang sudah dimiliki oleh guru sebagai hasil dari workshop atau seminar yang sudah dilakukan. Setelah pemetaan dilakukan, buatlah sebuah sistem dimana setiap orang yang sudah diberangkatkan atau di biayai seminar atau workshop nya untuk berbagi ilmu sepulangnya dari pelatihan kepada rekan guru yang lain. Akan tercipta iklim yang baik di antara para guru, terutama dalam peningkatan kemampuan berbicara di depan publik.
E.     Kualitas Guru Sebagai Kunci Utama Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi

Mengapa Perlu Kurikulum Berbasis Kompetensi?Ide Lahirnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) didasarkan pada pemikiran bahwa bakat dan kemampuan peserta didik pada tiap jenjang dalam satuan pendidikan berbeda-beda sehingga diperlukan suatu kurikulum yang memungkinkan setiap anak didik memiliki kompetensi dasar sesuai dengan bakat dan kemampuan masing-masing. Kurikulum lama dianggap telah tidak memadai lagi untuk mencapai tujuan pendidikan modern. Pada dasarnya kurikulum ini hanya dilihat sebagai acuan dasar yang harus diterjemahkan lebih jauh oleh guru dengan melihat potensi masing-masing anak. Guru bertindak sebagai fasilitator dengan siswa sebagai subyek. Siswa harus aktif mempresentasikan ide-idenya, mencari solusi atas masalah yang dihadapi dan menentukan langkah-langkah yang harus diambilnya. Dengan demikian KBK menuntut agar guru tidak lagi bertumpu pada paradigma lamanya dimana dirinya sebagai pusat kegiatan dan tujuan perubahan. Tidak ada lagi kegiatan ''talk and chalk'' dan siswa hanya ''sit, listen, and quote''. Ada perubahan mendasar pada konsep, metode dan strategi dalam mengajar termasuk assesment (penilaian)-nya. KBK juga menuntut guru untuk familiar dengan teknologi informasi, dapat mengakses internet, akrab dengan ilmu pengetahuhan, teknologi, dan seni, serta memahami hubungan antara bidang studinya dengan bidang studi lannya terutama pada penerapannya dalam kehidupan nyata. Tuntutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tersebut tampaknya belum sepenuhnya dapat terpenuhi. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kenapa hal tersebut tidak terpenuhi. Guru-guru masih terjebak pada filosofi dan pendekatan lamanya. Hal ini nampak jelas pada evaluasi yang mereka lakukan. Evaluasi yang digunakan oleh para guru dilapangan masih berpedoman pada paradigma lama yang hanya mengukur kemampuan kognitif dengan bentuk-bentuk evaluasi yang hampir tidak berubah sama sekali dengan kurikulum sebelumnya. Kesulitan utama pada guru-guru adalah ketidakpahaman mereka mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluai dengan portofolio. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola assesment lama dengan tes-tes dan ulangan-ulangan yang cognitive-based semata. Tidak adanya model sekolah yang bisa dijadikan sebagai rujukan membuat para guru tidak mampu melakukan perubahan, apalagi lompatan, dalam proses peningkatan kegiatan belajar mengajarnya. Secara nasional maupun lokal guru tidak ditempatkan sebagai SDM strategis untuk melakukan perubahan (dibandingkan dengan negara-negara tetangga sekalipun). Disamping kualitas guru yang masih rendah, mereka juga masih dibayar rendah - honor guru kontrak masih dibawah UMR. Sebaliknya di Jepang, meskipun bukan profesi dengan pendapatan tertinggi, guru adalah warganegara terhormat dimana semua profesi lainnya hormat padanya. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL sebetulnya sudah sangat jelas mengatur bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik (baca: guru) untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Bagaimana Kualitas Guru Yang Dibutuhkan Agar KBK Biukses? Untuk mencapai itu semua diperlukan guru-guru yang memang memiliki kualifikasi tinggi pada bidangnya. Syarat utama bagi guru untuk dapat mengajarkan KBK dengan baik adalah guru yang memiliki kapasitas penguasaan materi yang telah memadai. Guru harus benar-benar kompeten dengan materi yang akan diberikannya. Guru yang tidak kompeten tentu tidak akan dapat menghasilkan siswa yang kompeten. Prof. Suyanto Ph.D, Rektor Universitas Negeri Yogyakarta mengemukakan: "Guru harus diajak berubah dengan dilatih terus menerus dalam pembuatan satuan pelajaran, metode pembelajarannya yang berbasis Inquiry, Discovery, Contextual Teaching and Learning, menggunakan alat bantunya, menyusun evaluasinya, perubahan filosofisnya, dll." Sedangkan Achmad Sapari, Kasi Kurikulum Subdiknas TK/SD Dindik Kab. Ponorogo mengatakan: "Guru harus terus ditingkatkan sensifitasnya dan kreatifitasnya. Sensifitas adalah kemampuan guru untuk mengembangkan kepekaan-kepekaan paedagogisnya untuk kepentingan pembelajaran." Mengacu pada kedua pendapat diatas, guru juga harus memiliki komitmen yang benar-benar tinggi dalam usaha untuk mengembangkan kurikulum ini. Guru yang memiliki motivasi rendah tidak akan dapat melaksanakan KBK ini karena KBK menuntut kerja keras guru untuk mempersiapkan dan melaksanakannya di kelas. Setelah itu berikan pelatihan tentang KBK ini sebanyak-banyaknya dan biarkan mereka berkreasi di kelas. Kalau perlu magangkan mereka ke sekolah-sekolah internasional agar mereka melihat langsung bagaimana pendekatan competence- based ini dilakukan di kelas.
Berikan otonomi seluas-luasnya pada mereka untuk mengembangkan kurikulum. Jika kesemua guru mendapatkan pemahaman yang mendasar dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagaimana tuntutan KBK itu sendiri, maka dapat dikatakan kualitas guru dalam mengembangkan Kurikulum Berbasis Kompetensi cukup baik, profesional, dan sukses dalam menjalankan tugasnya.

BAB III
KESIMPULAN
Ketersediaan SDM berkualitas diyakini banyak orang sebagai kunci utama keberhasilan pembangunan. Untuk mewujudkan manusia dan masyarakat yang berkualitas, dunia pendidikan khususnya sekolah, dituntut untuk berperan aktif dalam meningkatkan kualitas SDM. Banyak faktor yang menentukan suatu sekolah menjadi berkualitas tinggi, tetapi berbagai penelitian tentang keefektifan mengajar guru, dapat disimpulkan bahwa guru mempunyai pengaruh yang sangat dominan terhadap pencapaian belajar siswa. Hal ini dapat dipahami karena guru merupakan sumber daya yang aktif, sedang sumber daya yang lain bersifat pasif. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah maupun swasta demi meningkatkan kualitas guru. Misalnya melalui penataran, seminar, lokakarya, workshop, uji kompetensi maupun melalui pendidikan di perguruan tinggi.
menurut penelitian Sudarmaji (2002 : 66) disebabkan karena :
1.      Program penataran kurang mendasarkan pada kebutuhan nyata guru, kebutuhan sekolah dan kebutuhan masyarakat, sehingga program-program tersebut banyak yang tidak relevan.
2.      Lemahnya dasar konseptual dalam perencanaan danpenataran.
3.      Tindak lanjut program penataran jarang dilakukan, sehingga sulit untuk mengetahui keberhasilannya.
4.      Guru tidak dapat mempraktekkan hasil penataran karena kondisi sekolah yangkurang memberi kesempatan.
5.       Nurturant Effect kurang tertanam pada para pelajar.
Dalam berbagai kasus, kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru. Dewasa ini kualitas atau kompetensi guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah, untuk itu peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan melalui upaya peningkatan kompetensi guru. Sebagai agen pembelajaran, seorang guru atau pendidik dipersyaratkan memiliki kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik, kompetensi profesional,kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.
Guru sebagai seorang agen pembelajaran wajib merancang dan mengembangkan proses pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Ini akan membantu peserta didik mencapai standar isi dan standar kompetensi lulusan yang diharapkan

DAFTAR PUSTAKA
1.      Artikel Sudarmaji (2002 : 60).
2.      Artikel Subagio,M.Pd.
3.      Catatan Human Development Index (HDI),
4.      Jurnal Penelitian Sugiarto (2003 : 117)
5.      Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No 045/U/2002,
6.      Makalah Slamet (1991)
7.      Makalah Tanje (2003 : 62-63)
8.      Makalah Wijoyo (2002 : 9)
9.      Penelitian Djumali (2005 : 42)
10.  Penelitian Ghufron (2005 : 88)
11.  Penelitian Miller dan Seller (1985 : 238)
12.  Penelitian Sutama (2005 : 153 -154) (2005 : 157 – 158)
13.  Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
14.  PP RI No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28,
15.  Undang-undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
16.  Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
17.  www.askgoogle.com







Tidak ada komentar:

Posting Komentar