BAB
I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Masalah
Peranan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas
sangat penting artinya bagi pembangunan suatu bangsa.Bahkan ketersediaan SDM
berkualitas diyakini banyak orang sebagai kunci utama keberhasilan pembangunan.
Untuk mewujudkan manusia dan masyarakat yang berkualitas, dunia pendidikan
khususnya sekolah, dituntut untuk berperan aktif dalam meningkatkan kualitas
SDM. Banyak faktor yang menentukan suatu sekolah menjadi berkualitas tinggi,
tetapi berbagai penelitian tentang keefektifan mengajar guru, dapat disimpulkan
bahwa guru mempunyai pengaruh yang sangat dominan terhadap pencapaian belajar
siswa. Hal ini dapat dipahami karena guru merupakan sumber daya yang aktif,
sedang sumber daya yang lain bersifat pasif. Sebaik-baik kurikulum, fasilitas,
sarana prasarana pembelajaran, tetapi tingkat kualitas gurunya rendah, akan
sulit mendapatkan hasil pendidikan yang berkualitas tinggi. Pendeknya guru
merupakan “proxy utama” terhadap keberhasilan pendidikan, menurut penelitian Sudarmaji (2002 : 60). Berdasarkan
catatan Human Development Index (HDI),
menunjukkan bahwa mutu guru di Indonesia masih jauh dari memadai untuk
melakukan perubahan yang sifatnya mendasar seperti kurikulum berbasis
kompetensi (KBK).
Para guru bahkan belum mengenal pengajaran dengan
menggunakan projek-projek yang menggabungkan beberapa mata pelajaran sekaligus.
Pengajaran tematik bahkan masih asing terdengar oleh para guru. Selain itu,
guru belum memahami konstelasi bidang studi yang diajarkannya dalam kaitan dan
hubungannya dengan bidang studi lain dan masih melihat berbagai bidang studi
secara terpisah dan tersendiri tanpa ada hubungan dengan bidang studi lain.
Guru masih melihat bidang studinya berupa “teks” dan
belum “konteks” karena metode Contekstual
Teaching and Learning (CTL) masih berupa wacana dan belum menjadi
pengetahuan, apalagi keterampilan bagi para guru.
Pada umumnya guru masih berceramah, walaupun ditambah
sedikit dengan kegiatan tanya jawab. Guru-guru dalam mengajar, masih banyak
yang menerapkan sistem CBSA, tapi dengan singkatan “Catat Buku Sampai Abis”.
Banyak siswa sering menjumpai gurunya sedang melakukan pekerjaan lain pada jam
mengajar, atau guru-guru yangsulit dihubungi pada hari-hari tertentu, terutama
pada jadwal MGMP. Siswa juga sering menjumpai guru yang selalu marah setiap
masuk kelas karena kelelahan, atau guru muda yang setiap kali mengajar, kelas
menjadi ramai, ada guru yang disegani karena berwibawa, tapi ada juga guru yang
dilecehkan karena tidak menyenangkan “performance” nya, dan juga keluhan
siswa dengan kondisi sekolah yang kurang
mendukung
proses belajar mengajar.
Dari uraian di atas, faktor kesiapan guru perlu
dikaji secara detail dan transparan, walaupun kurikulum pendidikan sangat
bagus, tetapi gurunya tidak punya kompetensi atau tidak mau menunjukkan
kompetensinya, maka jangan harap mutu pendidikan akan berubah pada setiap
periodenya. Jika buku pelajarannya bermutu tinggi, tetapi guru yang mengajarnya
tidak dibekali dan diberdayakan untuk memiliki ketrampilan mengajar yang baik,
maka pendidikan itu hanya sandiwara antara guru dan siswa didik semata. Jika
sarana dan prasarana pendidikan sangat lengkap, tetapi gurunya tidak mempunyai
kemampuan untuk mengoperasikan semua sarana yang ada, lantaran “gagap”
teknologi karena tak berdaya oleh keadaannya sekaligus tidak diberdayakan, maka
mutu pendidikan yang diharapkan hanya pembicaraan “liar” dari waktu ke waktu
yang tidak akan berujung pada perbaikan mutu. Selanjutnya, apa jadinya proses
pendidikan jika guru yang mengajar selalu “dihantui” dan “dililit” problem
ekonomis, sosial dan psikologis?
Sebenarnya ada tiga hal yang masih luput dari
analisis banyak kalangan dalam membicarakan mutu pendidikan di negeri ini.
Makalah Tanje (2003 : 62-63) disampaikan,
Ø Pertama,
tentang pemberdayaan guru. Pemberdayaan guru untuk memiliki ketrampilan agar
mampu mengubah paradigma pola mengajar sangatsignifikan dengan mutu pendidikan
yang diharapkan.
Ø Kedua,
kesejahteraan guru yang jauh dari sejahtera akan sangat berpengaruh pada
keseriusan kerjanya.
Ø Ketiga,
akibat kurikulum yang tidak marketable, yang selalu mengalami
pembenahan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah
maupun swasta demi meningkatkan kualitas guru. Misalnya melalui penataran,
seminar, lokakarya, workshop, uji kompetensi maupun melalui pendidikan
di perguruan tinggi. Namun hal itu dirasa tetap kurang efektif, menurut
penelitian Sudarmaji (2002 : 66) disebabkan karena :
1. Program
penataran kurang mendasarkan pada kebutuhan nyata guru, kebutuhan sekolah dan
kebutuhan masyarakat, sehingga program-program tersebut banyak yang tidak
relevan.
2. Lemahnya
dasar konseptual dalam perencanaan danpenataran.
3. Tindak
lanjut program penataran jarang dilakukan, sehingga sulit untuk mengetahui
keberhasilannya.
4. Guru
tidak dapat mempraktekkan hasil penataran karena kondisi sekolah yangkurang
memberi kesempatan.
5. Nurturant Effect kurang
tertanam pada para pelajar.
Hal ini disebabkan karena program penataran itu
sendiri kurang memperhatikan penanaman sikap. Sedangkan kurikulum yang
berkembang saat ini adalah kurikulum berbasis
kompetensi
(KBK) yang terdiri dari tiga komponen utama yaitu kompetensi dasar, materi
pokok dan indikator pencapaian hasil belajar. Guru memiliki peran penting dalam
implementasi kurikulum. Guru sebagai pihak pengembang dan pelaksana kurikulum
pada kelasnya masing-masing. Dari penelitian Ghufron (2005 : 88) mengatakan
bahwa implementasi kurikulum hampir seluruhnya tergantung pada kreativitas,
kecakapan, kesungguhan dan ketekunan guru. Salah satu kemampuan yang perlu
disiapkan adalah pengetahuan guru tentang kurikulum itu sendiri.
Pengetahuan guru secara komprehensif terhadap
kurikulum ini sangat berpengaruh terhadap tindakan-tindakannya dalam menerapkan
KBK di kelasnya masing-masing, menurut Ghufron (2005 : 88). Miller dan Seller
(1985 : 238) menyatakan “there are three basic dimensions to any
significant educational change; teaching resources, methodologies, and beliefs.
For a teacher to introduce a new program, adjustments are often necessary in
all three dimensions”. Pada bagian lain, Miller dan Seller (1985 :
240) mengatakan “…there are many personal factors that affect implementation
of change. Because the teacher is the ultimate implementor of a new
program, the personal world of theteacher must be considered”. Ada beberapa
pedoman implementasi kurikulum yang perlu disiapkan dan diperlukan guru,
menurut Ghufron (2005 : 89) antara lain : pedoman penyusunan silabus,
pembelajaran, sistem penilaian, dan lain-lain. Setiap pedoman memuat tata cara
perancangan, implementasi dan evaluasi kegiatan. Dalam jurnal penelitian Sugiarto
(2003 : 117) menyatakan kualitas hasil belajar berkualitas menuntut pengelolaan
pembelajaran yang juga berkualitas. Guru dituntut untuk memiliki sekurang-kurangnya
tiga kompetensi pokok yaitu kemampuan merencanakan, melaksanakan dan
mengevaluasi pembelajaran. Dari penelitian Sutama (2005 : 153 -154) menuturkan
di dalam kompetensi guru dalam pembelajaran tersebut terdapat aspek-aspek;
1) Terampil
menyusun rencana pengajaran,
2) Menyusun
program pembelajaran,
3) Terampil
melaksanakan prosedur mengajar,
4) Terampil
mengelola pembelajaran,
5) Mengembangkan
teknik dan media pembelajaran,
6) Terampil
melakukan evaluasi pembelajaran,
7) Mampu
menganalisis penilaian hasil belajar,
8) Mampu
memecahkan kesulitan pembelajaran, dan
9) Mampu
menganalisis kebijakan Diknas.
Kompetensi (competency) didefinisikan dengan
berbagai cara, namun pada dasarnya kompetensi merupakan kebulatan penguasaan
pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang ditampilkan melalui unjuk kerja, yang
diharapkan bisa dicapai seseorang setelah menyelesaikan suatu program
pendidikan. Sementara itu, menurut Keputusan Menteri Pendidikan Nasional No
045/U/2002, kompetensi diartikan sebagai seperangkat tindakan cerdas dan penuh
tanggung jawab yang dimiliki seseorang sebagai syarat untuk dianggap mampu oleh
masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugas sesuai dengan pekerjaan tertentu. Menurut
PP RI No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28, pendidik adalah
agen pembelajatan yang harus memiliki empat jenis kompetensi, yakni kompetensi
pedagogik, kepribadian, profesional, dan sosial.
1. Kompetensi Pedagogik
: Kompetensi pedagogik merupakan kemampuan yang berkenaan dengan pemahaman
peserta didik dan pengelola pembelajaran yang mendidik dan dialogis. Secara
subtantif kompetensi ini mencakup kemampuan pemahamanterhadap peserta didik,
perancangan dan pelaksanaan pembelajaran, evaluasihasil belajar, dan
pengembangan peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang
dimilikinya.
2.
Kompetensi
Kepribadian : Kompetensi kepribadian merupakan
kemampuan personal yang mencerminkan kepribadian yang mantap, stabil, dewasa,
arif dan berwibawa, menjadi teladan bagi peserta didik, dan berakhlak mulia.
3.
Kompetensi
Profesional : Kompetensi profesional merupakan
kemampuan yang berkenaan dengan penguasaan materi pembelajaran bidang studi
secara luas dan mendalam yang mencakup penguasaan substansi isi materi
kurikulum mata pelajaran di sekolah dan substansi keilmuan yang menaungi materi
kurikulum tersebut, serta menambah wawasan keilmuan sebagai guru.
4.
Kompetensi
Sosial : Kompetensi sosial berkenaan dengan kemampuan
pendidik sebagai bagian dari masyarakat
untuk berkomunikasi dan bergaul secara efektif dengan peserta didik, sesama
pendidik, tenaga kependidikan, orang tua / wali peserta didik, dan masyarakat
sekitar.
Keempat rumpun kompetensi tersebut mencerminkan
standar kompetensi pendidik / guru yang masih bersifat umum dan perlu dikemas
dengan menempatkan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa yang
beriman dan bertaqwa, dan sebagai warga negara Indonesia yang memiliki
kesadaran akan pentingnya memperkuat identitas dan semangat kebangsaan, sikap
demokratis dan tanggung jawab. Secara garis besar terdapat dua elemen
kompetensi guru yaitu dari kondisi internal dan kondisi eksternal. Dari laporan
penelitian Sutama (2005 : 160) menyatakan, kondisi internal guru dapat berupa
kemampuan, kecakapan interpersonal, serta kecakapan teknis. Sedangkan kondisi
eksternal berupa kondisikondisi yang berada di luar kendali guru. Menurut
Slamet (1991) disebutkan bahwa salah satu elemen yang memberi sumbangan besar
terhadap sekolah yang efektif adalah guru yang berkualitas yaitu guru yang bermutu
dan beretos kerja andal. Dalam makalahnya Wijoyo (2002 : 9) menuturkan penentu
kompetensi guru yang jarang dipermasalahkan adalah “pengalaman”, padahal ini
soal yang sangat menentukan dalam perjalanan hidup apalagi karir seseorang.,
sekaligus menentukan tinggi rendahnya derajat mutu dan relevansi pendidikan.
Istilah kerennya “jam terbang” dan sering dikaitkan dengan “track record”.
Celakanya pengalaman sering disalah artikan sebagai “masa kerja”. Orang yang
lama masa kerjanya otomatis dianggap banyak pengalamannya, dan lebih gawat lagi
salah arti ini dilembagakan dalam peraturan
kepegawaian
negeri sipil. Setiap 4 tahun PNS berhak naik pangkat meskipun belum tentu dia
menunjukkan pengalaman prestasi yang memadai. Padahal, pengalaman sama sekali
bukan masa kerja, melainkan nilai-nilai hasil observasi kritis seseorang terhadap
peristiwa sekililingnya yang direkonstruksi dan dikonsolidasikannya. Pengalaman
tidak selalu tergantung pada masa kerja atau usia seseorang. Dari jurnal penelitian
Sugiarto (2003 : 122) dinyatakan bahwa untuk memperoleh kemampuan guru
mengelola pembelajaran yang tinggi, harus didukung oleh motivasi kerja, etos
kerja,
pengalaman mengajar yang banyak, jenis dan lama penataran yang banyak dan tingkat
pendidikan yang tinggi. Dari penelitian Sutama (2005 : 157 – 158) ditemukan bahwa
partisipasi aktif dalam MGMP dapat meningkatkan kinerja atau kompetensi guru.
Sedangkan dari penelitian Djumali (2005 : 42) dinyatakan bahwa faktor penghasilan
merupakan faktor utama bagi peningkatan kinerja atau kompetensi guru. Banyak
faktor yang dapat mempengaruhi kompetensi guru dalam pembelajaran.
Menurut peneliti, ada beberapa faktor yang strategis
dalam arti sangat dominan mempengaruhi kompetensi guru yang dapat diamati dan
diukur, serta secara umum dimiliki dan dilakukan guru, antara lain : etos
kerja, pengalaman mengajar, pendidikan, kesejahteraan, status kepegawaian,
beban mengajar, keterlibatan dalam MGMP, dan sarana prasarana sekolah.
BAB
II
PEMBAHASAN
MASALAH
A. Guru
Kurang Memiliki Kompetensi
Berdasarkan uraian latar belakang masalah di atas,
dapat diidentifikasi beberapa
permasalahan
sebagai berikut :
1. Dalam
berbagai kasus, kualitas sistem pendidikan secara keseluruhan berkaitan dengan
kualitas guru. Dewasa ini kualitas atau kompetensi guru di Indonesia masih
tergolong relatif rendah, untuk itu peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan
melalui upaya peningkatan kompetensi guru. Sebagai agen pembelajaran, seorang
guru atau pendidik dipersyaratkan memiliki kompetensi yang meliputi kompetensi
pedagogik, kompetensi profesional,kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.
2. Kompetensi
guru dalam pembelajaran yang rendah ditunjukkan dengan etos kerja guruyang
rendah, kurang disiplin, tidak tepat waktu, korupsi waktu, kurang memiliki rasa
bangga pada pekerjaannya dan kurang memiliki komitmen dan kesetiaan pada
profesi dan tempat bekerja.
3. Terdapat
45,96% tenaga kependidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah belum
memenuhi kualifikasi pendidikan minimal. Persentase ini semakin besar bila dilihat
dari persyaratan kualifikasi pendidikan minimal guru yang ditetapkan dalam PP
RI No 19 tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP).
4. Kompetensi
minimal guru pemula tidak sama dengan guru pratama, guru madya, guru pembina
dan guru utama. Guru senior yang sudah meniti kariernya mempunyai lebih banyak
wawasan kepribadian dan keprofesionalan serta wawasan teoritik pembelajaran dan
penampilan.
5. Pembagian
tugas guru mengajar biasanya berdasarkan asas manfaat, dimana untuk guru tetap
(PNS) mendapatkan beban mengajar yang lebih besar dari kewajiban yang sudah
ditetapkan. Ini dilakukan untuk menghindari pengeluaran rutin sekolah yang bisa
membengkak, jika beban mengajar guru PNS, sesuai dengan ketentuan atau bahkan
berkurang. Sebaliknya bagi guru non PNS diberikan beban mengajar yang lebih
sedikit, hal ini mengakibatkan menurunnya daya kemampuan atau minat untuk
mengajar dengan penuh tanggung jawab.\
6. Baik
guru PNS maupun non PNS yang mendapat beban mengajar tidak sesuai dengan
keinginan atau bahkan diharuskan mengampu mata pelajaran yang bukan bidangnya
dengan tanpa mendapatkan sumbangan insentif yang memadai, apalagi gaji tetap
yang diterima tidak menunjang lajunya krisis ekonomi, serta tidak terpenuhinya
kebutuhan lahir maupun batin akan menurunkan kepedulian dan tanggung jawab
terhadap hasil belajar siswa.
7. Untuk
menambah wawasan dan berkumpul menyamakan persepsi materi-materi esensial, guru
mata pelajaran tertentu mendapat kesempatan untuk melakukan kegiatan MGMP
(Musyawarah Guru Mata Pelajaran) yang dijadwalkan satu minggu satu kali
pertemuan. Ada kalanya jadwal ini benar-benar dimanfaatkan oleh guru untuk
hadir, tapi kadang disalahgunakan guru untuk melakukan kegiatan lain di luar
kegiatan MGMP.
8. Guru
yang sudah meniti karier sampai jenjang guru pratama sampai utama mempunyai “prestice”
yang lebih besar daripada guru pemula atau non PNS, sehingga akan menunjukkan
kompetensi pembelajaran yang lebih baik daripada guru pemula atau GTT tersebut.
9. Bagi
sekolah yang berkualitas atau berprestasi, soal sarana prasarana bukan masalah
lagi, hanya saja kesiapan guru dalam memanfaatkan semua sarana prasarana perlu
dikaji. Bagi sekolah yang belum atau tidak mempunyai sarana prasarana memadai,
hal ini menjadikan kendala dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, apalagi guru-guru
tidak mempunyai keahlian atau kompetensi untuk memanfaatkan sarana prasarana
tersebut, maka mutu kegiatan belajar mengajar tidak dapat diharapkan
peningkatannya.
B. Pembatasan
Masalah
Ada banyak kompetensi yang harus
dimiliki oleh guru yang profesional, dalam
penelitian
ini difokuskan pada kompetensi pedagogik atau kompetensi guru dalamproses
pembelajaran yang memiliki sub kompetensi dan indikator esensial sebagai
berikut
:
1. Memahami
peserta didik. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial ;
Memahami peserta didik dengan
memanfaatkan prisip-prinsip perkembangan kognitif; memahami peserta didik
dengan memanfaatkan prinsip-prinsip kepribadian; dan mengidentifikasi bekal
ajar awal pesrta didik.
2. Merancang
pembelajaran, termasuk memahami landasan pendidikan untuk kepentingan
pembelajaran. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial ;
Menerapkan teori belajar dan
pembelajaran; menentukan strategi pembelajaran berdasarkan karakteristik
peserta didik, kompetensi yang ingin dicapai dan materi ajar; serta menyusun
rancangan pembelajaran berdasarkan strategi yang dipilih.
3. Melaksanakan
pembelajaran. Sub kompetensi ini memiliki indikator esensial ;
Menata latar (setting)
pembelajaran; dan melaksanakan pembelajaran yang kondusif.
4. Merancang
dan melaksanakan evaluasi pembelajaran. Sub kompetensi ini memiliki indikator
esensial;
Melaksanakan evaluasi (assessment)
proses dan hasil belajar secara berkesinambungan dengan berbagai metode;
menganalisis hasil penilaian proses dan hasil belajar untuk menentukan tingkat
ketuntasan belajar (mastery level); dan memanfaatkan hasil penilaian
pembelajaran untuk perbaikan kualitas program pembelajaran secara umum.
5. Mengembangkan
peserta didik untuk mengaktualisasikan berbagai potensi yang dimilikinya. Sub kompetensi
ini memiliki indikator esensial;
Memfasilitasipeserta didik untuk
pengembangan berbagai potensi akademik; dan
memfasilitasi
peserta didik untuk mengembangkan berbagai potensi non akademik.
Faktor
yang diduga strategis terhadap kompetensi guru dalam pembelajaran adalah
1) Etos
kerja,
2) Kualifikasi
pendidikan,
3) Pengalaman
mengajar,
4) Beban
mengajar,
5) Kesejahteraan,
6) Kegiatan
MGMP,
7) Status
kepegawaian, dan
8) Sarana
prasarana sekolah.
C. Perumusan
Masalah
Berdasarkan uraian diatas, permasalahan penelitian dapat
dirumuskan sebagai
berikut
:
1. Bagaimana
keadaan etos kerja, kualifikasi pendidikan, pengalaman mengajar, beban
mengajar, kesejahteraan, kegiatan MGMP (musyawarah guru mata pelajaran),
status kepegawaian, dan sarana prasarana secara parsial dan simultan terhadap
kompetensi guru dalam pembelajaran ?
2. Bagaimana
kontribusi etos kerja, kualifikasi pendidikan, pengalaman mengajar, beban
mengajar, kesejahteraan, kegiatan MGMP, status kepegawaian, dan sarana
prasarana terhadap kompetensi guru dalam pembelajaran, baik secara parsial
maupun simultan ?
D. Meningkatkan Kualitas Kompetensi
Guru
Guru sebagai
seorang agen pembelajaran wajib merancang dan mengembangkan proses pembelajaran
yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik
untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan kesempatan yang cukup bagi
prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan
perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Ini akan membantu peserta
didik mencapai standar isi dan standar kompetensi lulusan yang diharapkan.
Merencanakan dan mengembangkan suatu proses pembelajaran tidak akan optimal apabila dikerjakan secara individu karena perencanaan membutuhkan banyak komponen dan harus disusun secara sistematis. Bagaimana sebuah standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) harus dianalisis dan dikembangkan menjadi beberapa indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaraan, dan bahan ajar. Pendekatan, model, dan strategi pembelajaran apa yang sesuai dengan karakteristik peserta didik maupun mata pelajaran. Hal tersebut akan efektif apabila dilakukan secara berkelompok di dalam sebuah wadah pengembangan profesi. Dengan demikian akan tercipta mekanisme saling belajar di antara guru sebagai pendidik. Melalui wadah pengembangan profesi seperti MGMP (musyawarah guru mata pelajaran), perencanaan dan pengembangan proses pembelajaran akan lebih mudah dilaksanakan, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik, sekolah, mata pelajaran, dll. Ditunjang dengan berbagai panduan pengembangan yang disusun oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), guru akan lebih mudah dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai proses pembelajaran.
Merencanakan dan mengembangkan suatu proses pembelajaran tidak akan optimal apabila dikerjakan secara individu karena perencanaan membutuhkan banyak komponen dan harus disusun secara sistematis. Bagaimana sebuah standar kompetensi (SK) dan kompetensi dasar (KD) harus dianalisis dan dikembangkan menjadi beberapa indikator, materi pembelajaran, kegiatan pembelajaraan, dan bahan ajar. Pendekatan, model, dan strategi pembelajaran apa yang sesuai dengan karakteristik peserta didik maupun mata pelajaran. Hal tersebut akan efektif apabila dilakukan secara berkelompok di dalam sebuah wadah pengembangan profesi. Dengan demikian akan tercipta mekanisme saling belajar di antara guru sebagai pendidik. Melalui wadah pengembangan profesi seperti MGMP (musyawarah guru mata pelajaran), perencanaan dan pengembangan proses pembelajaran akan lebih mudah dilaksanakan, sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik peserta didik, sekolah, mata pelajaran, dll. Ditunjang dengan berbagai panduan pengembangan yang disusun oleh BSNP (Badan Standar Nasional Pendidikan), guru akan lebih mudah dalam merencanakan, melaksanakan, dan menilai proses pembelajaran.
Peserta
didik pun akan lebih terbantu dan mudah dalam belajar, Undang-undang Nomor 14
Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menyebutkan bahwa yang dimaksud 'guru' adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan
menengah. Hal ini sekaligus merupakan pengakuan terhadap profesi guru sebagaimana
diamanatkan dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Ada sembilan tujuan dikeluarkannya UU No. 14 tahun 2005 ini yang dijelaskan
dalam bagian penjelasannya, di antaranya: meningkatkan martabat guru,
meningkatkan kompetensi guru, dan meningkatkan mutu pembelajaran. Berdasarkan UU tersebut dan kenyataan di
lapangan tampak bahwa guru memiliki peran yang sangat penting dalam menentukan
kuantitas dan kualitas pengajaran yang dilaksanakan sehingga pada akhirnya
berperan dalam meningkatkan mutu pendidikan nasional. Guru berperan sebagai
pengelola proses belajar mengajar, bertindak selaku fasilitator yang berusaha
menciptakan proses belajar mengajar yang efektif, mengembangkan bahan pelajaran
dengan baik dan meningkatkan kemampuan peserta didik untuk menyimak pelajaran
dan menguasai tujuan-tujuan pendidikan yang harus mereka capai. Hal ini
menuntut perubahan-perubahan dalam pengorganisasian kelas, pengelolaan kelas,
penggunaan metoda mengajar, strategi belajar mengajar, maupun sikap dan
karakteristik guru dalam mengelola proses belajar mengajar. Untuk memenuhi hal
tersebut di atas, guru harus mampu mengelola proses belajar mengajar yang
memberikan rangsangan kepada peserta didik sehingga ia mau belajar karena
memang peserta didiklah subjek utama dalam belajar.
Guru yang
mampu melaksanakan perannya sesuai dengan tuntutan seperti yang disebutkan di
atas disebut sebagai seorang guru yang memiliki kompetensi. Sebagai standar kompetensi yang perlu
dimiliki oleh guru dalam melaksanakan profesinya, pemerintah mengeluarkan
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi
Guru. Standar kompetensi guru ini dikembangkan secara utuh dari empat
kompetensi utama, yaitu kompetensi pedagogik, kepribadian, sosial, dan
profesional.Menilik pada Standar Kompetensi Guru yang dikeluarkan tersebut,
pertanyaan-pertanyaan berikut ini cukup menggoda untuk sama-sama direnungkan.
Apakah "kita" para guru sudah memiliki kompetensi tersebut? Bagaimana
menyikapinya?
Guru
profesional seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu:
a.
Kompetensi pedagogis,
b.
Kognitif,
c.
Personaliti, dan
d.
Sosial.
Oleh karena
itu, selain terampil mengajar, seorang guru juga memiliki pengetahuan yang
luas, bijak, dan dapat bersosialisasi dengan baik,mereka harus:
1)
Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa, dan idealisme,
2)
Memiliki kualifikasi pendidikan dan latar belakang
pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya,
3)
Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan
bidang tugasnya. Di samping itu, mereka juga harus
4)
Mematuhi kode etik profesi,
5)
Memiliki hak dan kewajiban dalam melaksanakan tugas,
6)
Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan
prestasi kerjanya,
7)
Memiliki kesempatanuntuk mengembangkan profesinya
secara berkelanjutan,
8)
Memperoleh perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas
profesionalnya, dan
9)
Memiliki organisasi profesi yang berbadan hukum (sumber
UU tentang Guru dan Dosen)
Di lapangan
banyak di antara guru mengajarkan mata pelajaran yang tidak sesuai dengan
kualifikasi pendidikan dan latar belakang pendidikan yang dimilikinya. Tidak
memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai bidang tugas. Guru profesional
seharusnya memiliki empat kompetensi, yaitu kompetensi pedagogis, kognitif,
personaliti, dan sosial. Oleh karena itu, seorang guru selain terampil
mengajar, juga memiliki pengetahuan yang luas, bijak, dan dapat bersosialisasi
dengan baik. Hal itu terindikasi dengan minimnya kesempatan beasiswa yang
diberikan kepada guru dan tidak adanya program pencerdasan guru, misalnya dengan
adanya tunjangan buku referensi,pelatihan berkala,dsb. Profesionalisme dalam
pendidikan perlu dimaknai he does his job well. Artinya, guru haruslah orang yang
memiliki insting pendidik, paling tidak
mengerti dan memahami peserta didik. Guru harus menguasai secara mendalam
minimal satu bidang keilmuan. Guru harus memiliki sikap integritas profesional.
Dengan integritas barulah, sang guru menjadi teladan atau role model.Menyadari
banyaknya guru yang belum memenuhi kriteria profesional, guru dan penanggung jawab
pendidikan harus mengambil langkah. Salah satu tujuan pendidikan klasik
(Yunani-Romawi) adalah menjadikan manusia makin menjadi "penganggur
terhormat", dalam arti semakin memiliki banyak waktu luang untuk
mempertajam intelektualitas (mind) dan kepribadian (personal). Peningkatan
kesejahteraan. Agar seorang guru bermartabat dan mampu "membangun"
manusia muda dengan penuh percaya diri, guru harus memiliki kesejahteraan yang
cukup.
Meningkatkan
kompetensi guru sepertinya merupakan hal yang tidak bisa di tawar lagi.
Tuntutan untuk meningkatkan kompetensi bahkan sekarang datang dari dalam diri
guru sendiri. Lewat seminar atau workshop yang sekarang menjamur. Berapa
anggaran sekolah anda dalam setahun? Sudahkan membuat survey mengenai, jenis
peningkatan serta subyek apa saja yang ingin di tingkatkan dari diri setiap
guru. Sudahkan ada catatan mengenai ’siapa pergi ke seminar atau workshop apa?’
Melakukan pemetaan mengenai kepandaian baru apa yang sudah dimiliki oleh guru
sebagai hasil dari workshop atau seminar yang sudah dilakukan. Setelah pemetaan
dilakukan, buatlah sebuah sistem dimana setiap orang yang sudah diberangkatkan
atau di biayai seminar atau workshop nya untuk berbagi ilmu sepulangnya dari
pelatihan kepada rekan guru yang lain. Akan tercipta iklim yang baik di antara
para guru, terutama dalam peningkatan kemampuan berbicara di depan publik.
E.
Kualitas
Guru Sebagai Kunci Utama Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi
Mengapa Perlu Kurikulum Berbasis
Kompetensi?Ide Lahirnya Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) didasarkan pada
pemikiran bahwa bakat dan kemampuan peserta didik pada tiap jenjang dalam
satuan pendidikan berbeda-beda sehingga diperlukan suatu kurikulum yang memungkinkan
setiap anak didik memiliki kompetensi dasar sesuai dengan bakat dan kemampuan
masing-masing. Kurikulum lama dianggap telah tidak memadai lagi untuk mencapai
tujuan pendidikan modern. Pada dasarnya kurikulum ini hanya dilihat sebagai
acuan dasar yang harus diterjemahkan lebih jauh oleh guru dengan melihat
potensi masing-masing anak. Guru bertindak sebagai fasilitator dengan siswa
sebagai subyek. Siswa harus aktif mempresentasikan ide-idenya, mencari solusi
atas masalah yang dihadapi dan menentukan langkah-langkah yang harus
diambilnya. Dengan demikian KBK menuntut agar guru tidak lagi bertumpu pada
paradigma lamanya dimana dirinya sebagai pusat kegiatan dan tujuan perubahan.
Tidak ada lagi kegiatan ''talk and chalk'' dan siswa hanya ''sit, listen, and
quote''. Ada perubahan mendasar pada konsep, metode dan strategi dalam mengajar
termasuk assesment (penilaian)-nya. KBK juga menuntut guru untuk familiar
dengan teknologi informasi, dapat mengakses internet, akrab dengan ilmu
pengetahuhan, teknologi, dan seni, serta memahami hubungan antara bidang
studinya dengan bidang studi lannya terutama pada penerapannya dalam kehidupan
nyata. Tuntutan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) tersebut tampaknya belum
sepenuhnya dapat terpenuhi. Ada beberapa hal yang menjadi penyebab kenapa hal
tersebut tidak terpenuhi. Guru-guru masih terjebak pada filosofi dan pendekatan
lamanya. Hal ini nampak jelas pada evaluasi yang mereka lakukan. Evaluasi yang
digunakan oleh para guru dilapangan masih berpedoman pada paradigma lama yang
hanya mengukur kemampuan kognitif dengan bentuk-bentuk evaluasi yang hampir
tidak berubah sama sekali dengan kurikulum sebelumnya. Kesulitan utama pada
guru-guru adalah ketidakpahaman mereka mengenai apa dan bagaimana melakukan evaluai
dengan portofolio. Karena ketidakpahaman ini mereka kembali kepada pola
assesment lama dengan tes-tes dan ulangan-ulangan yang cognitive-based semata.
Tidak adanya model sekolah yang bisa dijadikan sebagai rujukan membuat para
guru tidak mampu melakukan perubahan, apalagi lompatan, dalam proses
peningkatan kegiatan belajar mengajarnya. Secara nasional maupun lokal guru
tidak ditempatkan sebagai SDM strategis untuk melakukan perubahan (dibandingkan
dengan negara-negara tetangga sekalipun). Disamping kualitas guru yang masih
rendah, mereka juga masih dibayar rendah - honor guru kontrak masih dibawah
UMR. Sebaliknya di Jepang, meskipun bukan profesi dengan pendapatan tertinggi,
guru adalah warganegara terhormat dimana semua profesi lainnya hormat padanya.
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL sebetulnya
sudah sangat jelas mengatur bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik
dilakukan oleh pendidik (baca: guru) untuk memantau proses, kemajuan, dan
perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Bagaimana
Kualitas Guru Yang Dibutuhkan Agar KBK Biukses? Untuk mencapai itu semua
diperlukan guru-guru yang memang memiliki kualifikasi tinggi pada bidangnya.
Syarat utama bagi guru untuk dapat mengajarkan KBK dengan baik adalah guru yang
memiliki kapasitas penguasaan materi yang telah memadai. Guru harus benar-benar
kompeten dengan materi yang akan diberikannya. Guru yang tidak kompeten tentu
tidak akan dapat menghasilkan siswa yang kompeten. Prof. Suyanto Ph.D, Rektor
Universitas Negeri Yogyakarta mengemukakan: "Guru harus diajak berubah
dengan dilatih terus menerus dalam pembuatan satuan pelajaran, metode
pembelajarannya yang berbasis Inquiry,
Discovery, Contextual Teaching and Learning, menggunakan alat bantunya,
menyusun evaluasinya, perubahan filosofisnya, dll." Sedangkan Achmad
Sapari, Kasi Kurikulum Subdiknas TK/SD Dindik Kab. Ponorogo mengatakan:
"Guru harus terus ditingkatkan sensifitasnya dan kreatifitasnya.
Sensifitas adalah kemampuan guru untuk mengembangkan kepekaan-kepekaan paedagogisnya
untuk kepentingan pembelajaran." Mengacu pada kedua pendapat diatas, guru
juga harus memiliki komitmen yang benar-benar tinggi dalam usaha untuk
mengembangkan kurikulum ini. Guru yang memiliki motivasi rendah tidak akan
dapat melaksanakan KBK ini karena KBK menuntut kerja keras guru untuk
mempersiapkan dan melaksanakannya di kelas. Setelah itu berikan pelatihan
tentang KBK ini sebanyak-banyaknya dan biarkan mereka berkreasi di kelas. Kalau
perlu magangkan mereka ke sekolah-sekolah internasional agar mereka melihat
langsung bagaimana pendekatan competence- based ini dilakukan di kelas.
Berikan otonomi seluas-luasnya pada
mereka untuk mengembangkan kurikulum. Jika kesemua guru mendapatkan pemahaman
yang mendasar dan melaksanakan kegiatan-kegiatan sebagaimana tuntutan KBK itu
sendiri, maka dapat dikatakan kualitas guru dalam mengembangkan Kurikulum
Berbasis Kompetensi cukup baik, profesional, dan sukses dalam menjalankan
tugasnya.
BAB
III
KESIMPULAN
Ketersediaan SDM berkualitas diyakini
banyak orang sebagai kunci utama keberhasilan pembangunan. Untuk mewujudkan
manusia dan masyarakat yang berkualitas, dunia pendidikan khususnya sekolah,
dituntut untuk berperan aktif dalam meningkatkan kualitas SDM. Banyak faktor
yang menentukan suatu sekolah menjadi berkualitas tinggi, tetapi berbagai
penelitian tentang keefektifan mengajar guru, dapat disimpulkan bahwa guru
mempunyai pengaruh yang sangat dominan terhadap pencapaian belajar siswa. Hal
ini dapat dipahami karena guru merupakan sumber daya yang aktif, sedang sumber
daya yang lain bersifat pasif. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah
maupun swasta demi meningkatkan kualitas guru. Misalnya melalui penataran,
seminar, lokakarya, workshop, uji kompetensi maupun melalui pendidikan
di perguruan tinggi.
menurut penelitian Sudarmaji (2002 : 66) disebabkan
karena :
1. Program
penataran kurang mendasarkan pada kebutuhan nyata guru, kebutuhan sekolah dan
kebutuhan masyarakat, sehingga program-program tersebut banyak yang tidak
relevan.
2. Lemahnya
dasar konseptual dalam perencanaan danpenataran.
3. Tindak
lanjut program penataran jarang dilakukan, sehingga sulit untuk mengetahui
keberhasilannya.
4. Guru
tidak dapat mempraktekkan hasil penataran karena kondisi sekolah yangkurang
memberi kesempatan.
5. Nurturant Effect kurang
tertanam pada para pelajar.
Dalam berbagai kasus, kualitas sistem pendidikan
secara keseluruhan berkaitan dengan kualitas guru. Dewasa ini kualitas atau
kompetensi guru di Indonesia masih tergolong relatif rendah, untuk itu
peningkatan kualitas pendidikan harus dilakukan melalui upaya peningkatan
kompetensi guru. Sebagai agen pembelajaran, seorang guru atau pendidik
dipersyaratkan memiliki kompetensi yang meliputi kompetensi pedagogik,
kompetensi profesional,kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial.
Guru sebagai seorang agen pembelajaran wajib merancang dan mengembangkan
proses pembelajaran yang interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, serta memberikan
kesempatan yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan
bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik. Ini akan
membantu peserta didik mencapai standar isi dan standar kompetensi lulusan yang
diharapkan
DAFTAR PUSTAKA
1. Artikel Sudarmaji (2002 : 60).
2.
Artikel Subagio,M.Pd.
3.
Catatan Human
Development Index (HDI),
4. Jurnal
Penelitian Sugiarto
(2003 : 117)
5. Keputusan
Menteri Pendidikan Nasional No 045/U/2002,
6. Makalah
Slamet (1991)
7. Makalah
Tanje (2003 : 62-63)
8. Makalah Wijoyo (2002 : 9)
9. Penelitian Djumali (2005
: 42)
10. Penelitian
Ghufron (2005 : 88)
11. Penelitian Miller dan Seller (1985
: 238)
12. Penelitian
Sutama (2005 : 153 -154) (2005 : 157 – 158)
13. Permendiknas
Nomor 16 Tahun 2007 tentang Kualifikasi Akademik dan Kompetensi Guru.
14. PP
RI No 19/2005 tentang Standar Nasional Pendidikan Pasal 28,
15. Undang-undang
Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen
16. Undang-undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
17. www.askgoogle.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar